Thursday, December 30, 2010

PERAN TRANSPORTASI UDARA DALAM INTEGRASI NASIONAL: PENUNJANG DAN PENDORONG STABILITAS WILAYAH PERBATASAN INDONESIA

Mulai dari buku pengantar di sekolah dasar sampai buku-buku ensiklopedia berbahasa asing kita dapat dengan mudah memperoleh berbagai informasi tentang Indonesia. Seluruh dunia tahu bahwa Indonesia merupakan negara besar yang tersusun dari lebih 17 ribu pulau kecil dan besar, baik yang sudah memiliki nama maupun yang belum. Luas wilayah Indonesia termasuk ZEE yang mencapai 7,7 juta km persegi, dengan perbandingan luas lautan dan daratannya adalah 3:1 sudah kita hapal di luar kepala.

Akan tetapi setidaknya sampai saat ini penulis belum pernah mendapatkan literatur yang khusus membahas tentang wilayah udara Indonesia yang juga merupakan salah satu dari tiga unsur wilayah kita. Walaupun UUD 1945 telah menyebutkan bahwa wilayah nasional meliputi darat, laut dan udara, namun wilayah udara yang memiliki ruang terluas nyaris luput dari perhatian [Kompas, 8 Desember 2003]. Penyebab utamanya adalah karena wilayah udara dipandang tidak memiliki sumber daya yang bisa dijual untuk dikelola pihak asing. Tidak seperti Ambalat misalnya yang ditaksir menyimpan kekayaan sebesar Rp. 4.200 triliun [www.mail-archive.com/undip@pandawa.com/msg04514.html], sehingga wajar bila mendapat perhatian lebih.

Padahal sejatinya wilayah udara ini memiliki banyak sekali intangible potention, baik itu positif maupun sebaliknya negatif yang dapat muncul apabila tidak ditangani dengan benar. Wilayah udara nasional adalah aset negara yang sangat berharga dan memiliki nilai strategis di bidang ekonomi dan pertahanan keamanan. Salah satu potensi positif terbesarnya adalah kegunaan ruang udara sebagai media transportasi.

Kemampuan transportasi udara yang dapat menempuh ribuan mil dalam hitungan detik serta daya jelajahnya yang mampu mencapai seluruh tempat memang sangat dibutuhkan oleh Indonesia yang memiliki wilayah sangat luas dan berpencar-pencar dalam bentuk kepulauan. Berangkat dari hal inilah penulis akan membahas peran transportasi udara dalam integrasi nasional Indonesia, dimana lebih spesifik membahas perannya dalam menjaga dan mengembangkan wilayah perbatasan termasuk didalamnya pulau-pulau terluar Indonesia.

Sekilas Kondisi Perbatasan Kita

Ketika berbicara tentang perbatasan mungkin yang teringat oleh kita hanyalah permasalahan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan atau perseteruan di blok Ambalat yang sedang hangat-hangatnya. Padahal sebenarnya masalah perbatasan lainnya juga sudah menumpuk dan telah menjelma menjadi bom waktu yang siap meledak apabila tidak segera ditangani dengan serius. Hal ini disebabkan secara fisik Indonesia merupakan negara terbesar kelima di dunia dan berbatasan secara langsung di laut dengan 10 negara tetangga, dan di darat dengan 3 negara tetangga. Tentu saja kita tidak boleh lupa kalau ini berarti di udara kita berbatasan dengan 13 negara atau bahkan mungkin lebih.

Indonesia di darat berbatasan dengan Malaysia, Papua Nugini dan Timor Larose. Walaupun sudah terdapat peraturan-peraturan dan kesepakatan bersama menyangkut batas darat ini, akan tetapi sampai saat ini masih ada saja permasalahan-permasalahan yang muncul. Salah satunya adalah masalah kaburnya perbatasan dengan Malaysia di Pulau Kalimantan akibat dirusaknya patok-patok batas, sehingga ratusan hektar wilayah kita masuk menjadi wilayah Malaysia [Waluyo, 2005].

Sedangkan untuk wilayah laut yang berbatasan dengan 10 negara, kondisinya lebih ironis, dimana baru sebagian kecil saja batas laut yang telah ditegaskan. Sebagian perbatasan yang telah dibahas antara lain adalah dengan Malaysia, Singapura, Australia, PNG, Thailand dan India [Tarmansyah, 2003]. Menurut data dari Departemen Kelautan dan Perikanan, Indonesia memiliki 92 pulau terluar yang tersebar di 19 provinsi. Sebanyak 67 pulau di antaranya berbatasan langsung dengan negara lain dan 12 pulau di antaranya rawan diklaim oleh negara lain [Husodo, 2005].

Kondisi demografi daerah perbatasan juga sangat memprihatinkan, dimana sebagian daerah perbatasan Indoensia tidak berpenghuni sehingga sangat rawan untuk dicaplok diam-diam oleh pihak asing. Selain itu keadaan ini menjadikan gangguan dari luar seperti penyelundupan barang-barang yang dilindungi sampai obat bius dan senjata api sangat rawan terjadi.
Kawasan-kawasan yang berpenghuni pun tidak luput dari berbagai masalah. Seperti yang terjadi di Kalimantan, dimana kemiskinan akibat keterisolasian kawasan menjadi pemicu tingginya keinginan masyarakat setempat menjadi pelintas batas ke Malaysia. Hal ini sangat manusiawi apabila melihat perbatasan negara tetangga tersebut telah dikelilingi oleh jalan hotmix yang mulus, dengan lampu jalan yang terang benderang, dan pendapatan penduduk yang cukup tinggi serta bangunan yang teratur layaknya sebuah kota [Hamid , 2002].

Menyadari kenyataan tersebut maka untuk menangani masalah perbatasan ini tidak cukup hanya dengan mengandalkan pendekatan keamanan (security approach), tetapi juga harus ditunjang dengan pendekatan kesejahteraan dan pembangunan (prosperity/ development approach). Salah satu solusinya adalah ketersediaan transportasi udara yang tepat dan dikelola dengan baik sehingga dapat berfungsi maksimal sebagai sarana penghubung, katalis pembangunan dan sekaligus sebagai media penunjang keamanan dan integrasi bangsa.

Kenapa Harus Transportasi Udara ?

Sebagaimana transportasi pada umumnya, transportasi udara mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai unsur penunjang (servicing sector) dan unsur pendorong (promoting sector) [Abubakar, 2000]. Peran transportasi udara sebagai unsur penunjang dapat dilihat dari kemampuannya menyediakan jasa transportasi yang efektif dan efisien untuk memenuhi kebutuhan sektor lain, sekaligus juga berperan dalam menggerakan dinamika pembangunan.

Pendapat selama ini yang mengatakan bahwa biaya yang dikeluarkan apabila menggunakan transportasi udara sangat besar, saat ini sudah terjawab dengan munculnya maskapai-maskapai baru yang menawarkan layanan transportasi udara yang prima dengan harga yang sangat kompetitif. Malahan apabila dilihat dari teori ekonomi fakta yang muncul bisa sebaliknya. Hal ini dikarenakan transportasi udara khususnya pesawat terbang mampu memberikan nilai tambah berupa kecepatan, sehingga memungkinkan peredaran uang yang lebih cepat dan tentunya hal ini berarti penekanan biaya produksi [www.flytrain.web.id/index.php?lang=indo].
Sedangkan sebagai unsur pendorong, transportasi udara juga sudah terbukti mampu menjadi jasa transportasi yang efektif untuk membuka daerah terisolasi dan juga melayani daerah-daerah dan pulau-pulau terpencil. Tersedianya transportasi yang dapat menjangkau daerah pelosok termasuk yang ada di perbatasan sudah pasti dapat memicu produktivitas penduduk setempat, sehingga akhirnya akan meningkatkan penghasilan seluruh rakyat dan tentunya juga pendapatan pemerintah.

Perkembangan pembangunan di daerah perbatasan secara tidak langsung akan menciptakan mutiplier effect yang positif, seperti pemerataan penduduk, penciptaan lapangan kerja baru serta stabilitas dan keutuhan wilayah. Kita seharusnya dapat belajar dari pengalaman pahit lepasnya P. Sipadan dan P. Ligitan ke tangan Malaysia. Dari penjelasan media diketahui bahwa ICJ/MI dalam mengambil keputusan akhir mengenai status kedua pulau tersebut ternyata tidak menggunakan materi hukum umum yang diajukan oleh Indonesia maupun Malaysia. Kaidah yang digunakan adalah dengan menggunakan kriteria pembuktian lain, yaitu continuous presence, effective occupation, maintenance and ecology preservation. Kemenangan Malaysia dikarenakan kedua pulau tersebut secara lokasi memang tidak begitu jauh dari Malaysia dan ditambah lagi dengan adanya fakta bahwa Malaysia telah membangun beberapa prasarana pariwisata di kedua pulau tersebut [Djalal, 2003]

Adapun peran langsung transportasi udara dalam masalah pertahanan dan keamanan juga sangat banyak. Salah satunya adalah digunakannya radar penerbangan sipil untuk membantu radar militer yang saat ini belum mampu mengawasi seluruh wilayah udara Indonesia. Selain itu, walaupun masih diperdebatkan tetapi secara teori memungkinkan pesawat sipil untuk memiliki fungsi ganda sebagai alat transportasi biasa dan sekaligus sebagai pesawat pengintai atau patroli tidak tetap. Frekuensi penerbangan pesawat sipil yang sangat tinggi dapat dimamfaatkan untuk melaporkan keadaan udara, bahkan darat dan laut.

Upaya Memaksimalkan Peran Transportasi Udara

Peran transportasi udara yang sangat besar ini tentu saja hanya dapat diperoleh dengan dukungan berbagai pihak. Sudah saatnya transportasi udara menjadi prioritas utama dalam upaya meningkatkan pelayanan prasarana transportasi dan komunikasi di daerah-daerah perbatasan. Penulis yakin bahwa banyak investor yang dalam hal ini pengusaha transportasi udara yang berminat membuka jalur penerbangannya ke daerah-daerah perbatasan apabila faktor kebutuhannya juga tersedia.

Faktor kebutuhan yang dimaksud disini sudah pasti adalah tersedianya lapangan terbang yang memadai serta berjalannya kegiatan ekonomi atau lainnya seperti pariwisata yang memungkinkan adanya kebutuhan transportasi dari dan ke daerah tersebut. Dan yang tidak kalah penting adalah kemauan pemerintah sebagai pengambil keputusan untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang tepat menyangkut transportasi udara. Seluruh potensi high cost economy di sektor transportasi udara harus dievaluasi dan dibenahi. Karena kalau tidak, maka percuma saja langkah efisiensi yang mati-matian dilakukan oleh pelaku usaha (Pikiran Rakyat, 28 Juli 2003).

Selain itu perlu juga dikaji dan diteliti kemungkinan lain berupa inovasi-inovasi dalam transportasi udara. Inovasi disini tidak hanya menyangkut pembuatan pesawat sebagaimana yang dilakukan oleh IPTN, namun lebih luas dari itu termasuk juga didalamnya adalah pembuatan roadmap penerbangan dalam negeri yang dapat menciptakan efisiensi dan keteraturan penerbangan nasional. Dalam hubungannya dengan daerah-daerah perbatasan dapat juga dilakukan pengkajian secara ekonomi untuk menggunakan sarana transportasi udara alternatif seperti misalnya seaplane atau yang lebih dikenal dengan pesawat amphibi untuk transportasi dari dan ke pulau-pulau kecil.

Penutup

Dengan memprioritaskan tranportasi udara bukan berarti kita melupakan sejarah bahwa kita adalah bangsa pelaut yang besar dan menjadi besar karena memiliki pelaut-pelaut yang tangguh. Perlu dicermati bahwa para pendahulu kita dapat dikatakan terdepan dalam teknologi transportasi pada masanya yang memang pada saat itu berada dalam era maritim. Namun saat ini tidak dapat disangkal lagi kalau merupakan era dari transportasi udara.

Tentunya kita juga tidak akan mengabaikan transportasi-tranportasi lain, yang dalam hal ini adalah transportasi darat dan laut. Solusi paling bijak harus dicari agar tidak ada pihak yang dirugikan, salah satunya adalah dengan redesign jalur-jalur transportasi agar dapat saling menunjang dan tidak sebaliknya saling menjatuhkan. Tetapi satu yang pasti adalah kita harus dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi termasuk dalam bidang transportasi udara agar dapat menjaga dan memelihara apa yang telah diwariskan oleh para pendahulu kepada kita.

Sunday, December 26, 2010

The best recomended : Buku 7 Keajaiban Rezeki

Buku yang bertitel “7 KEAJAIBAN REZEKI: REZEKI BERTAMBAH, NASIB BERUBAH, DALAM 99 HARI, DENGAN OTAK KANAN”.

Isi buku ini berkisah tentang:

  • mengasah otak kanan, kreativitas, imajinasi, dan intuisi
  • mengambil keputusan 1.000 kali lebih cepat, dengan otak kanan
  • mengendalikan Law of Attraction dan nasib, dengan otak kanan
  • melipatgandakan pengaruh dan go national 10 tahun lebih awal
  • menjual lebih banyak, lebih cepat, dan lebih mahal
  • memahami 19 amal yang melipatgandakan rezeki
  • menguasai pintu-pintu rezeki, dengan otak kanan
  • Buku ini tidak mengupas tentang ’kesuksesan’, melainkan tentang ’mempercepat kesuksesan’. Istilahnya, percepatan-percepatan, lompatan-lompatan, atau keajaiban keajaiban. Di buku ini juga disisipkan CD bonus berdurasi 3 jam, memuat sharing dari tokoh-tokoh, seperti Hendy Setiono (Kebab Turki), Roni Yuzirman (TDA), Tom Mc Ifle (Master Coach), dll. Sharing langsung dari mereka! Tentang apa? Yah, bagaimana mereka membuktikan keajaiban-keajaiban itu dalam bisnis dan kehidupan mereka. Nyata! Selamat mencoba dan nantikan keajaiban

    cerita si "Engkong Caim"

    Engkong Caim umurnye ude 80 taon, asmanye kumat mulu, badan udeh
    tinggal tulang doang. Udeh jalan 2 minggu, Engkong Caim diinpus di rumah sakit. Napasnye udah tinggal senen kemis pake selang oxigen. Anak mantunye nungguin gantian siang malem.

    Pas malem jum'at Engkong Caim ngedrop lagi,mukenye pucet, badannye
    dingin, matenye sipit ame napasnye tinggal atu dua.

    Si Nasir, anaknye semate wayang, ngirain babenye udeh waktunye koit.
    Ame si Nasir, dipanggil deh ustad kampung situ namenye Ustad Bokir.
    Begitu liat Engkong caim udeh diem aje, Bokir langsung baca-bacain
    macem-macem doa. Eh tau-tau Engkong Caim megap-megap ame kejang-kejang, bikin panik orang.

    Pake bahase isyarat, Engkong Caim tangannye niruin orang nulis.

    "Eh Nasir, Lu liat tuh tangan babe lu, daripade bengong, kasih bolpen kek
    babelu, kayaknye babe lu pengen nulis surat wasiat tuh" katenye Bokir.

    Nasir langsung ngibrit nyari kertas ame bolpen buat babenye, kali aje
    dapet warisan tanah di Condet pan lumayan.

    Pake sisa tenaganye, Engkong Caim nulis dikertas ampe' gemeter, abis
    gitu kertasnye dikasiin ke Bokir. Ame Bokir, surat wasiatnye langsung
    dikantongin. "Entar aje bacenye, kagak enak baca surat wasiat
    sekarang, pan babelu belon koit" katenye Bokir ngebisikin Nasir.

    Akhirnye Engkong Caim jadi koit dah.

    ......Inna Lillahi.....

    Orang sekampung pade nangisin, soalnye Engkong Caim biarin galak tapi baek ame tetangge.

    Pas sukuran tujuh arinye Engkon Caim, Bokir diundang lagi ame Nasir
    buat ngebacain doa lagi. Abis bacain doa, Bokir baru inget kalo die
    dititipin surat wasiat ame almarhum Engkong Caim. Untungnye, Bokir make baju taqwa yang minggu kemaren dipake waktu Engkong Caim koit, pas dirogoh, surat wasiatnye masih ade dikantongnye.

    "Sodare-sodare sekalian, ade surat wasiat titipannye Engkon nyang
    belon sempet ane baca.Kalo kite inget masa idupnye Engkong, kayaknye sih
    isinye nasehat buat kite semue. Nyok kite baca bareng-bareng suratnye ye"
    kate Bokir.

    Begitu abis ngebuka lipetan surat wasiatnye, tau-tau GUBRAK !!! Bokir
    ngejeb lak jatoh pingsan. Pas dibaca ame Nasir, ternyate isi suratnye cuma
    begini.

    "HEH Bokir !!!! Lu bedirinye sonoan dikit, jangan nginjek selang oxigen gua!!!

    PERKEMBANGAN ANGKUTAN UDARA KOMERSIAL DI INDONESIA TAHUN 2010

    Sebagai negara kepulauan terluas di dunia dengan total luas 1,9 juta kilo meter persegi, Indonesia merupakan salah satu negara dengan potensi perpindahan barang dan orang terbesar di dunia. Dengan besarnya potensi tersebut, wajar bila pertumbuhan sektor transportasi di Indonesia cukup menggembirakan beberapa tahun terakhir ini. Untuk angkutan barang, pada 2007 total kiriman barang domestik melalui laut, udara dan kereta api telah mencapai 301 juta ton atau meningkat 21,77 persen dari tahun sebelumnya. Dari total jumlah kargo domestik ini, 94 persen merupakan kargo domestik yang diangkut melalui kapal laut, 5 persen melalui kereta dan sisanya melalui pesawat.

    Meskipun terdapat banyak kendala, industri transportasi barang diperkirakan akan semakin meningkat seiring dengan pulihnya ekonomi Indonesia. Industri transportasi kargo domestik akan semakin menggeliat dengan berlakunya Inpres No. 5 tahun 2005 yang menerapkan azas cabottage. Inpres ini mewajibkan pengangkutan 13 komoditi utama di wilayah Indonesia harus menggunakan kapal berbendera Indonesia.

    Sementara itu untuk angkutan penumpang, terjadi fenomena yang cukup menarik dengan adanya pergeseran yang signifikan dari angkutan kereta api ke angkutan udara. Jika di 1996, angkutan penumpang pesawat hanya merupakan 7,55 persen dari total angkutan penumpang maka di 2007 angka ini bergeser menjadi 15,28 persen atau mencapai 34 juta orang dari total angkutan penumpang sebanyak 222 juta orang. Pergeseran ini terlihat signifikan sejak 2001, yaitu saat beroperasinya perusahaan penerbangan swasta yang memberlakukan low cost carrier (LCC) sebagai strategi penetrasi pasar. Angkutan penumpang diperkirakan akan semakin meningkat meskipun beberapa waktu yang lalu terdapat banyak kejadian yang bisa mempengaruhi transportasi penumpang, seperti kecelakaan pesawat, rusaknya jalan dan pencurian rel kereta api. Dengan fakta-fakta di atas, muncul pertanyaan bagaimanakah prospek sektor tranportasi di Indonesia? Bagaimanakah kinerja dan prospek masih-masing jenis angkutan?

    Angkutan Laut

    Meskipun secara geografis potensi angkutan laut Indonesia sangat besar, hingga 2006 jumlah pengangkutan kargo melalui laut, baik domestik maupun internasional, hanya tumbuh sebesar 5,24 persen dari tahun sebelumnya dengan rata-rata pertumbuhan selama periode 2002-2006 hanya sebesar 6 persen.

    Grafik 1










    Grafik Pertumbuhan Kargo Domestik dan Internasional

    *Posisi Agustus 2007

    Sumber: Direktorat Jenderal Perhubungan Laut

    Sepanjang 2005, pangsa kapal nasional untuk angkutan dalam negeri terhadap 13 komoditi utama hanya sebesar 55,47 persen dari total muatan sebesar 206 juta ton. Sementara untuk pengangkutan internasional, kapal nasional tidak dapat berbuat banyak karena pangsa pasarnya sebesar 94,95 persen dikuasai oleh kapal asing.

    Untuk mengurangi ketimpangan ini, Pemerintah melalui Inpres No. 5 tahun 2005 memberlakukan azas cabottage yang mewajibkan pengangkutan kargo 13 komoditi dalam negeri harus dilakukan oleh kapal berbendera Indonesia. Kondisi ini mewajibkan kantor agensi untuk memiliki kapal dengan berat tertentu untuk dapat beroperasi di Indonesia. Ketentuan cabottage berlaku bertahap sejak 2005 dengan minyak dan gas bumi sebagai komoditi yang paling akhir wajib diangkut kapal nasional pada 1 Januari 2010 seperti terlihat pada Tabel 1.

    Tabel 1










    Jenis Barang yang Wajib Diangkut Kapal Nasional

    Meskipun persyaratan ini dirasakan berat oleh Indonesian Shipping Agency Association (ISSA) karena kepemilikan kapal membutuhkan modal besar, sejak diberlakukan Inpres ini pada Maret 2005 terjadi peningkatan pangsa kapal berbendera Indonesia untuk angkutan domestik menjadi 61,3 persen pada akhir 2006. Hal ini terjadi karena Inpres 2005 memicu pertumbuhan jumlah kapal nasional. Jumlah armada laut nasional naik 10,7 persen menjadi 6.689 unit kapal pada 2005 dan naik 6,5 persen menjadi 7.128 unit kapal pada 2006.

    Komposisi kargo melalui laut hingga 94 persen dari total angkutan kargo didukung oleh kapasitas pelabuhan komersial Indonesia yang mencapai 337 hektar gudang dan 69.587 meter persegi dermaga. Hingga 2005, PT Pelindo I sampai dengan PT Pelindo IV mengelola 70 pelabuhan, sedangkan 534 pelabuhan lain dikelola oleh Pemerintah.

    Secara kontinyu pelabuhan-pelabuhan juga terus dibenahi dengan memberlakukan tarif standar dan sistem audit pelabuhan untuk memenuhi International Ships & Port Facility Secure Code (ISPS Code). Audit terakhir yang dilakukan oleh International Transport Workers Federation (ITF) mensyaratkan peningkatan sistem keamanan pada pelabuhan Belawan International Container, Terminal Peti Kemas Koja, Tanjung Priok, Pelabuhan Teluk Bayur, Terminal Convetional Ship Tanjung Emas, dan Terminal Jamrud Tanjung Perak.

    Pemerintah melalui Departemen Perhubungan menurunkan standar tarif penanganan peti kemas di pelabuhan (terminal handling charge, THC) di seluruh pelabuhan Indonesia, masing-masing dari US$ 150 menjadi US$ 95 untuk kontainer ukuran 20 feet dan dari US$230 menjadi US$ 145 untuk kontainer ukuran 40 feet. Hal ini dilakukan agar tarifnya lebih bersaing dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Sebagai perbandingan, biaya THC di Singapura adalah US$ 105 untuk kontainer 20 feet dan US$ 156 untuk kontainer 40 feet. Sementara Malaysia mengenakan US$ 78 untuk 20 feet dan US$ 116 untuk 40 feet.

    Pada angkutan penumpang melalui laut, jumlah penumpang semakin menurun seiring dengan peningkatan penumpang pesawat terbang seperti yang terlihat pada Grafik 2. Jika pada 2000 penumpang kapal laut mencapai 14,35 juta penumpang maka pada 2007 jumlah ini menurun menjadi 13,4 juta. Hal ini bisa dimaklumi mengingat saat ini bepergian dengan kapal penumpang dianggap tidak menghemat waktu dibandingkan dengan transportasi udara berbiaya murah. Namun demikian, pengangkutan dengan kapal laut masih diperlukan mengingat tidak semua tujuan dapat dijangkau oleh pesawat udara komersial.

    Angkutan Udara

    Angkutan udara Indonesia memulai babak baru di tahun 1999 setelah pemerintah membuka izin seluas-luasnya kepada pihak swasta untuk mendirikan perusahaan penerbangan. Penumpang pesawat udara domestik secara signifikan mengalami peningkatan dengan rata-rata sebesar 22 persen per tahun sejak 2000. Jika pada tahun 1996 sebelum krisis jumlah penumpang pesawat udara mencapai 13,5 juta orang maka pada November 2007 angka ini sudah jauh terlampaui dengan total penumpang pesawat mencapai 36,13 juta orang. Begitu pula dengan penerbangan internasional yang mencatat kenaikan tajam sebesar 11,91 persen dari tahun sebelumnya menjadi 13,93 juta penumpang per November 2007.


    Grafik 2

    Grafik Jumlah Penumpang Pesawat dan Kapal Laut 2000-2007








    Sumber: BPS, Dephub *Data hingga November 2007

    Kenaikan signifikan pada penumpang ini tidak diikuti oleh pengangkutan kargo melalui udara. Pengangkutan kargo udara domestik bahkan sempat mengalami penurunan pada 2006, namun kemudian mencatat kenaikan sebesar 8,5 persen menjadi 291,32 ton pada November 2007. Begitu pula dengan angkutan kargo udara tujuan internasional sempat mengalami penurunan pada 2005 namun mulai bangkit kembali dengan mencatatkan kenaikan 7,93 persen atau mencapai 615,99 ton pada November 2007. Penurunan kargo udara ini disebabkan beralihnya pengiriman ke kapal yang lebih cepat dan hemat biaya bahan bakar. Dalam kurun lima tahun, 2002-2007, harga bahan bakar avtur naik 300 persen, sementara bahan bakar kapal naik 200 persen.

    Hingga akhir 2007 terdapat 73 perusahaan penerbangan, dengan 13 perusahaan niaga berjadwal, 1 perusahaan niaga berjadwal khusus kargo, 34 perusahaan niaga tidak berjadwal dan 25 perusahaan bukan niaga. Pesatnya pertumbuhan perusahaan penerbangan ini menciptakan persaingan ketat yang berakibat pada ditutupnya beberapa perusahaaan penerbangan swasta seperti Star Air dan Bouraq pada 2005. Hal ini disebabkan oleh strategi dan perencanaan bisnis yang salah dalam memilih pesawat dan rute penerbangan. Perusahaan penerbangan yang menyewa pesawat sebelum 2001 umumnya kurang diuntungkan mengingat harga sewa dan leasing pesawat di luar negeri sebelum peristiwa 11 September 2001 masih sangat tinggi. Perusahaan yang menyewa pesawat boros bahan bakar juga semakin terpukul dengan meningkatnya harga avtur.


    Tabel 2

    Beberapa Perusahaan Penerbangan Komersil Berjadwal 2007

    Sumber: Indonesian National Air Carriers Association (INACA)

    Strategi low cost carrier yang diterapkan perusahaan penerbangan disinyalir menjadi penyebab terjadinya beberapa kecelakaan pesawat terbang, meskipun pada kenyataannya kecelakaan yang menimpa maskapai bertiket murah lebih diakibatkan oleh human error. Umur pesawat terbang pun mulai dipermasalahkan dengan terjadinya kecelakaan pada beberapa pesawat Boeing 737 seri 200.

    Atas kondisi ini Departermen Perhubungan merespon dengan melakukan audit terhadap pesawat Boeing 737 seri 200 yang berumur lebih dari 20 tahun. Selain itu pemerintah juga memperketat perizinan pembukaan perusahaan penerbangan dengan mensyaratkan perusahaan penerbangan untuk mengoperasikan minimal lima pesawat meningkat dari syarat sebelumnya yang hanya dua pesawat. Pemerintah juga mencabut izin perusahaan yang tidak segera menjalankan kegiatan operasional setelah izin dikeluarkan.

    Langkah ini juga diambil dalam rangka liberalisasi angkutan udara tingkat ASEAN. Sidang ke-15 ASEAN Air Transportation Working Group (ATWG) di Palembang pada 25 April 2007 menyetujui untuk memberlakukan liberalisasi angkutan kargo udara secara penuh pada Desember 2008 dan liberalisaasi angkutan penumpang pada 2012. Liberalisasi ini diberlakukan dengan tetap menerapkan azas cabottage, di mana angkutan kargo domestik tetap dilakukan oleh masakapai nasional.

    Untuk mendukung liberalisasi penerbangan ini pemerintah mulai meningkatkan kapasitas bandara-bandara melalui pembangunan landasan, pembangunan dan peningkatan terminal bandara dan sarana prasarana navigasi.

    Hingga 2007, dari 28 bandara yang masuk dalam program pengembangan bandara 2005-2009, 14 bandara telah selesai dilaksanakan dan sisanya akan dilakukan secara bertahap. Pada 2007, peningkatan fasilitas landasan mencapai 330.752 meter persegi sedangkan pembangungan fasilitas bangungan bandara mencapai 11.708 meter persegi dan pembangungan fasilitas terminal sebesar 542.375 meter persegi. Sebagai bagian dari peningkatan kapasitas ini, Pemerintah melalui Departemen Perhubungan secara berkala juga melakukan audit peralatan/sarana di bandara udara.

    Pada saat yang bersamaan untuk menciptakan industri penerbangan yang sehat dengan tingkat keselamatan tinggi, pemerintah memberlakukan tarif acuan batas atas dan tarif referensi (batas bawah). Tarif referensi per 2005 untuk perusahaan penerbangan adalah sebesar Rp.338.386 per jam per penumpang atau dengan biaya operasi rata-rata per kilometer sebesar Rp. 376 per penumpang. Dari tarif ini maka tarif batas bawah Jakarta-Makassar adalah sebesar Rp 480.000, Jakarta-Medan Rp 487.000, Jakarta-Padang Rp 361.000, Jakarta-Semarang Rp 225.000, Jakarta-Surabaya Rp 303.000, dan Jakarta-Yogyakarta Rp 233.000.

    Beberapa perusahaan berbiaya rendah ditemukan sering melanggar tarif batas bawah ini dengan alasan komponen biaya bahan bakar pesawat mereka relatif lebih rendah dibanding komponen biaya bahan bakar yang dijadikan acuan untuk menentukan batas bawah tersebut. Dilihat dari umur pesawat, penggunaan pesawat dengan umur tidak lebih dari 5 tahun dapat menekan biaya perawatan sampai 60 persen dibandingkan dengan pesawat lebih dari 20 tahun.

    Sedangkan tarif batas atas adalah mengacu pada Kepmenhub No 9 Tahun 2002 tentang Tarif Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi. Sesuai Kepmenhub tersebut tarif batas atas untuk rute Jakarta-Yogyakarta yang berjarak 509 km tidak boleh lebih dari Rp 560.000 per penumpang. Tiket Jakarta-Surabaya sejauh 778 km tidak boleh dijual lebih dari Rp 778.000 per penumpang, dan rute Jakarta-Makassar sejauh 1.517 km tidak boleh dijual lebih dari Rp 1,29 juta per penumpang. Secara umum, kalangan industri penerbangan menyambut baik peraturan ini mengingat harga avtur kini semakin tinggi.

    Pelarangan terbang oleh Uni Eropa membuat pemerintah secara aktif menerapkan Corrective Action Plan untuk 2008 sebagai lanjutan aksi serupa di tahun sebelumnya, antarra lain audit perusahaan penerbangan, surveilllance, ramp inspection, dan revisi peraturan keselamatan penerbangan.

    Angkutan Darat

    Berbeda dengan angkutan yang lain, angkutan darat menggunakan berbagai jenis moda dengan pergerakan yang sangat intens yang meliputi kendaraan bermotor, kereta api dan angkutan sungai, danau dan penyeberangan. Hingga 2007, jumlah kendaraan bermotor di Indonesia total mencapai 63,8 juta unit dengan komposisi terbesar disumbang oleh sepeda motor yang mencapai 82,46 persen.


    Grafik 3

    Grafik Pertumbuhan Kendaraan Bermotor

    Sumber: POLRI, Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI)

    Dilihat dari rata-rata pertumbuhan, jumlah bus memiliki rata-rata kenaikan tertinggi selama lima tahun terakhir. Pertumbuhan jumlah bus ini ditunjang oleh maraknya perkembangan industri pariwisata dan kebutuhan sewa bus untuk antar jemput anak sekolah atau pekerja kantor. Dari total 3,3 juta bus di 2007, 19.446 merupakan bus antarkota antarprovinsi (AKAP), 8.224 bus pariwisata, 215 merupakan bus perintis sedangkan sisanya merupakan bus kota.

    Namun kenaikan jumlah kendaraan ini tidak diikuti dengan pertambahan sarana jalan. Sebagai perbandingan jika total kendaraan selama 2002-2006 tumbuh sebesar 24,41 persen maka total jalan hanya tumbuh 1,98 persen dalam kurun waktu yang sama atau tumbuh sebesar 3,98 persen dalam kurun waktu 1987-2006. Total panjang jalan nasional, jalan propinsi, jalan kabupaten dan jalan tol hingga 2006 hanya sepanjang 333.033 km.

    Angkutan Kereta Api

    Sebaliknya terjadi fenomena yang sedikit berbeda terjadi pada angkutan kereta api. Meskipun merupakan angkutan penumpang dengan komposisi lebih besar dibandingkan dengan angkutan penumpang melalui kapal laut dan pesawat, jumlah penumpang kereta api turun signifikan sejak perusahaan-perusahaan penerbangan swasta memberlakukan low cost carrier. Secara kontinyu, jumlah penumpang kereta api turun sejak 2001 hingga 2004 dan mulai naik kembali pada 2005. Jika di 2000 jumlah penumpang kereta api mencapai 192 juta penumpang maka pada 2001 turun menjadi 187 juta penumpang dan menjadi 150 juta penumpang saja pada 2004. Penumpang kereta mulai naik secara signifikan setelah terjadi kecelakaan pesawat secara beruntun sejak 2004. Meski belum melampaui penumpang kereta api tahun 2000, tercatat kenaikan proporsional sebesar 10 persen pada 2007 atau mencapai 175 juta penumpang.

    Grafik 4








    Grafik Perbandingan Jumlah Penumpang Kereta Api dan Pesawat.

    Sumber: BPS, Dephub

    Begitu pula yang terjadi dengan angkutan kargo melalui kereta api. Sejak 2002 hingga saat ini angkutan kargo melalui kereta api hanya berkisar 5-6 persen dari total angkutan kargo melalui kapal laut, pesawat dan kereta api. Pada 2007, volume angkutan kargo kereta api mencapai 17,08 juta ton. Dari total angkutan kargo melalui kereta api ini, sebanyak 77 persen merupakan angkutan kereta api di Sumatera yang memang diperuntukkan untuk mengangkutan kargo di daerah berbukit.

    Direktorat Jenderal Perkeretaapian berupaya keras untuk meningkatkan jumlah kargo melalui kereta api ini. Rencana pemerintah untuk membangun rel tambahan dan fasilitas infrastruktur pendukung bongkar-muat pada proyek kereta api di Pasoso Tanjung Priok diperkirakan dapat meningkatkan jumlah kargo kereta api.

    PT Kereta Api Indonesia (KAI) meyakini bahwa pengiriman peti kemas melalui Terminal Peti Kemas (dry port) Gede Bage Bandung dengan menggunakan kereta api lebih murah, efisien, dan tepat waktu dibandingkan melalui moda angkutan darat lainnya untuk pengangkutan di atas tujuh kontainer. Hal ini juga didukung kondisi jalur darat yang semakin macet. Rencana tarif kargo kereta dari Gede Bage hingga loading di atas kapal untuk kontainer berukuran 20 twenty-foot equivalent units (TEUs) adalah sebesar Rp 817.000 dan Rp1,3 juta untuk 40 TEUs. Sebagai gambaran tarif angkut kargo dengan truk untuk rute yang sama adalah sebesar Rp1,8 juta di luar biaya pengurusan dokumen di pelabuhan.

    Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan (ASDP)

    Angkutan sungai, danau dan penyeberangan mengalami peningkatan yang cukup signifikan sebagai indikasi tumbuhnya perdagangan antarpulau. Hingga Oktober 2007, kargo melalui angkutan PT Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan (PT ASDP) mencapai 25 juta ton atau meningkat sebesar 21,1% dibanding periode sebelumnya. Sementara penyeberangan penumpang juga mengalami kenaikan signifikan sebesar 27,3% dibanding periode sebelumnya atau mencapai 29,5 juta orang. Gambaran selengkapnya tertuang di Grafik 5.

    Grafik 5

    Grafik Angkutan ASDP Penumpang dan Kargo.










    Sumber: Dephub

    *) Oktober 2007

    Peningkatan tersebut ditunjang oleh jumlah dermaga sebanyak 140 unit, dengan 75 di antaranya merupakan dermaga perintis. Total kapal yang melayani penyeberangan sebanyak 190 unit, dengan perincian 90 kapal milik PT ASDP, 98 milik swasta dan 2 merupakan kerja sama operasi (KSO) pemerintah dengan pihak swasta.

    A. KEBUJAKAN PEMERINTAH DALAM PEMBERIAN IZIN MENDIRIKAN PERUSAHAAN PENERBANGAN BARU

    Banyaknya angka kecelakaan pesawat di dalam negeri yang terjadi di awal tahun ini ditengarai akibat pertumbuhan airline yang tak terkendali. Tidak sedikit negara dan organisasi internasional menyoroti keadaan ini. Presiden ICAO, Roberto Kobeh Gonzales, yang pada 2 Juli lalu di Denpasar, Bali, hadir dalam acara Strategic Summit on Civil Aviation Safety juga mengingatkan hal ini kepada pemerintah Indonesia.

    Ia menandaskan, pertumbuhannya harus segera dibatasi. Pemerintah juga harus membenahi sumber daya manusia penunjang bisnis ini, karena selama ini kedua hal telah menunjukkan ketimpangan. Padahal jika ketimpangan ini dibiarkan terus terjadi, secara keseluruhan bisnis transportasi udara akan ambruk dan bukan tak mungkin selanjutnya akan pula merusak perekonomian nasional.

    Pemerintah bukannya tidak mengetahui ancaman serius tersebut. Dalam setiap kesempatan, baik Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal maupun Dirjen Perhubungan Udara, Budhi M Suyitno, telah mengingatkan agar kalangan operator penerbangan di dalam negeri mengerem laju pertumbuhannya dan beralih memperkuat akar perusahaannya. Di lain pihak, pemerintah juga memperketat pemberian ijin pendirian maskapai baru (AOC, Air Operator Certificate).

    Disamping itu untuk meningkatkan standar keamanan, pemerintah juga akan memperketat pemberian lisensi terbang (untuk pilot) dan lisensi perawatan pesawat (untuk para teknisi).

    Budhi Suyitno menyadari, bahwa semua itu akan menimbulkan biaya tinggi bagi maskapai. Namun dengan tindakan-tindakan yang high cost, ia berharap para operatotr akan kembali memperhatikan ketersediaan dana untuk bidang keselamatan penerbangan. Merunut logika bisnis, biaya tinggi itu akan diturunkan kepada penumpang melalui harga tiket. Jika harga tiket tinggi, diharapkan minat penumpang untuk naik pesawat udara akan turun. Pada akhirnya, laju pertumbuhan penumpang akan terbatasi dengan sendirinya.

    Budhi juga mengharapkan para maskapai melakukan merger. Dengan merger diharapkan akan bisa memperkuat sumber dana mereka. Sehingga mereka tidak kelimpungan ketika standar pengawasan ditinggikan. Pengawasan dari pemerintah juga akan menjadi maksimal karena jumlah maskapai akan menciut. Dan pada akhirnya, sistim yang sudah disiapkan pemerintah, yaitu sistim hub and spoke, akan bisa dilaksanakan. Dengan sistim hub and spoke, menurut Budhi, tidak hanya maskapai yang diuntungkan, namun juga masyarakat dan pemerintah akan ikut untung.

    Namun apakah tindakan ini akan berhasil? Dari pengamatan Angkasa di lapangan, harga tiket yang tinggi ternyata tidak berpengaruh terhadap minat masyarakat untuk menggunakan pesawat udara. Pada saat peak season, dimana harga tiket dijual dengan harga berlipat-lipat dari harga saat low season, tiket tetap terjual habis. Bahkan pada setiap musim liburan Lebaran, banyak maskapai mengadakan penerbangan ekstra demi memenuhi keinginan calon penumpang. Menurut pengelola maskapai, harga yang tinggi biasanya digunakan untuk mensubsidi biaya penerbangan saat low season yang cenderung merugi lebih dari 550%.

    Seperti apa sesungguhnya pertimbangan yang dikatakan pesat itu? Pada tahun 1999, jumlah penumpang tingkat domestik yang diangkut masih sekitar enam juta orang. Namun pada tahun 2006, jumlahnya meningkat hingga lebih dari 34 juta atau meningkat lebih dari 550 %. Suatu jumlah peningkatan yang luar biasa pesat.

    Banyaknya kecelakaan pesawat di awal tahun ini ternyata juga tidak terlalu menyurutkan masyarakat untuk beralih ke moda transportasi lain. Menurut data dari Biro Pusat Statistik, dari lima bandara yang diamati (Soekarno-Hatta, Juanda, Polonia, Hasanudin, dan Ngurah Rai) selama Januari-Mei 2007, hanya mengalami penurunan 4,67 % dari periode yang sama tahun lalu.

    Jumlah penumpang yang diangkut pada Januari-Mei 2007 sebanyak 11,02 juta orang. Padahal bulan-bulan itu termasuk low season. Saat peak season, yakni pada Juli-Agustus, Lebaran dan akhir tahun, penumpang diperkirakan akan tetap meningkat. Indikasinya, dari April ke Mei, terjadi pertumbuhan penumpang hingga 7,68 %. Pada tahun 2007 ini, jumlah penumpang yang akan diangkut diperkirakan akan mencapai 39,6 juta penumpang.

    Di tingkat maskapai penerbangan, pertumbuhan juga sangat pesat. Menurut data dari asosiasi maskapai penerbangan nasional (INACA/ Indonesia National Air Carriers Association) ada beberapa maskapai yang mengalami tingkat pertumbuhan penumpang lebih dari 100 % dari tahun 2005 ke 2006. Beberapa contoh, penumpang Kartika Airlines meningkat dari 97.765 menjadi 263.093 penumpang. Indonesia Air Asia meningkat dari 701.367 menjadi 1.505.715. Batavia meningkat dari 1.974.748 menjadi 3.971.214. Sedangkan Adam Air meningkat dari 2.324.996 menjadi 4.873.753 penumpang. Load faktor secara nasional juga meningkat dari 77,17 % menjadi 78,36 %.

    Jumlah rute dan frekuensi penerbangan juga meningkat pesat. Rute tahun 2002 tercatat 136 di 77 kota dan meningkat menjadi 203 rute di 112 kota pada tahun 2006. Sementara jumlah pemberangkatan pesawat dari 176.300 kali pada tahun 2002 menjadi 339.327 kali di tahun 2006 atau naik 92%. Dengan kenaikan ini, bisa dipastikan jam utilitas pesawat juga meningkat. Dalam periode tersebut jam utilitas meningkat dari 245.145 jam menjadi 460.204 jam, meningkat 87 %.

    Namun peningkatan yang pesat dalam bisnisnya itu, tidak dibarengi dengan peningkatan pesat di bidang beberapa sumber daya yang fital. Baik kuantitas maupun kualitas. Jumlah pesawat yang beroperasi, misalnya, secara nasional ternyata tidak meningkat secara signifikan. Dari tahun 2002 hingga 2006, peningkatannya hanya 35 %, yaitu dari 167 menjadi 226 pesawat.

    Dari segi sumber daya manusia juga patut dipertanyakan. Dirjen Perhubungan Udara, Budhi M Suyitno, saat membeberkan hasil audit triwulan maskapai nasional pada awal Juni lalu sempat mengeluh. Menurutnya, sumber daya manusia merupakan bidang yang sangat perlu diperbaiki oleh pengelola maskapai. Karena hal ini menyangkut aspek keselamatan penerbangan.

    Keluhan Budhi ini tercermin dari hasil audit yang sudah dua kali dilakukan pemerintah. Dari dua kali audit, ternyata hanya satu maskapai yang telah memenuhi persyaratan peraturan keselamatan penerbangan sipil, yaitu Garuda. Sedangkan 19 maskapai lain memenuhi persyaratan minimal keselamatan penerbangan sipil namun masih terdapat beberapa persyaratan yang belum dilaksanakan. Padahal, dari 20 item parameter penilaian dalam audit tersebut, lebih dari 50 %-nya berkaitan dengan sumber daya manusia.

    Beberapa bidang sumber daya manusia yang perlu dibenahi baik kuantitas maupun kualitas, menurut Budhi, diantaranya adalah pilot dan teknisi serta personal kunci dalam struktur organisasi maskapai tersebut.

    Proteksi open sky

    Biaya tinggi agaknya juga tidak akan berpengaruh jika nanti open sky jadi dilaksanakan di Indonesia. Dengan perjanjian open sky, maskapai luar negeri bebas masuk, termasuk mendirikan maskapai di Indonesia. Dengan dukungan dana dan jaringan yang lebih besar, biaya tinggi versi pemerintah Indonesia ini akan mudah diantisipasi.

    Alih-alih menyehatkan bisnis di dalam negeri, malah membuat maskapai nasional kalah bersaing di negeri sendiri. Padahal perjanjian open sky untuk maskapai komersial, rencananya akan mulai dilaksanakan di Indonesia pada tahun 2010.

    Namun demikian, INACA, menginginkan agar pemerintah lebih berperan mengatur daripada membatasi laju pertumbuhan. Wakil ketua INACA, Samudra Sukardi, di sela-sela Rapat Umum Anggota (RUA) INACA di Denpasar awal Juli lalu, mengatakan agar rekomendasi ICAO tidak mentah-mentah dipatuhi. "Yang penting itu pengaturannya. Pertumbuhan tidak perlu ditahan jika sumber daya manusia dari operator dan regulatornya siap," ujarnya.

    Dalam sambutannya pada pembukaan acara RUA, ketua umum INACA, Rusdi Kirana, juga meminta pemerintah memberi proteksi kepada maskapai nasional. Rusdi mengharapkan asas cabotage benar-benar diterapkan di Indonesia. Asas cabotage menyatakan bahwa penerbangan dalam negeri merupakan hak eksklusif suatu negara.
    Selama ini, asas cabotage yang sudah diratifikasi oleh Indonesia sejak tahun 1950 masih terbentur dengan UU no. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang tidak membatasi secara transparan berapa besar prosentase modal asing boleh masuk di dunia penerbangan nasional. Akibatnya, beberapa maskapai asing sudah masuk ke Indonesia lewat kepemilikan saham yang mencapai 49 % di maskapai nasional. Contoh nyata soal ini adalah kepemilikan saham maskapai Air Asia dari Malaysia di maskapai Indonesia Air Asia yang mencapai 49 %.

    Jika tidak diatur lebih tegas, Rusdi khawatir akan makin banyak maskapai asing yang akan masuk ke Indonesia. "Saya harap asas cabotage dimasukkan dalam UU penerbangan yang saat ini sedang digodok di DPR," ujarnya.

    Agaknya kecemasan Rusdi itu mewakili kecemasan maskapai nasional lain. Walau bagaimanapun, pertumbuhan yang sangat pesat ini adalah momentum yang tepat bagi mereka untuk berkembang. Namun tentu saja perkembangan ini diharapkan mampu menyokong dan menyuburkan perekonomian nasional. Dan tugas ini tidak harus disandarkan pada pundak maskapai penerbangan saja.

    Pemerintah dan DPR melalui fungsi legislasi dan eksekusi diharapkan juga mampu ikut menyokong dengan membuat peraturan-peraturan yang tepat dan bermutu, sekaligus mengawasi dan mengevaluasinya dengan tegas dan seksama. (*)


    1. PERATURAN-PERATURAN PENERBANGAN

    ( UU PENERBANGAN TAHUN 2008 )

    Indonesia punya Undang-Undang Penerbangan baru. Lebih dari separuh materi wet ini mengatur dan mendorong keselamatan penerbangan. Tanggung jawab maskapai penerbangan dikaitkan dengan perlindungan konsumen.

    Studio Alam Depok, 31 Desember 2008. Libur Natal 2008, Tahun Baru Hijriyah 1430 H dan Tahun Baru 2009 menjadi peak season yang mendatangkan keuntungan bagi pengelola transportasi, termasuk penerbangan. Jadwal penerbangan penuh menuju tempat-tempat wisata favorit. Libur panjang pada pergantian tahun ini merangkai hubungan simbiosis mutualisma antara maskapai dengan pengguna jasa penerbangan.

    Libur panjang kali ini semakin melengkapi kado penghujung tahun bagi perusahaan penerbangan. Sebab, sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah memberikan ‘kado’ penting berupa persetujuan atas Undang-Undang Penerbangan baru menggantikan Undang-Undang No. 15 Tahun 1992.

    Terdiri dari 466 pasal, UU Penerbangan 2008 merupakan wujud penyempurnaan regulasi lama untuk menyesuaikan dengan perkembangan iptek serta perubahan paradigma dan lingkungan strategis. “Undang-Undang ini diperlukan untuk menjamin terwujudnya penyelenggaraan penerbangan yang memenuhi standar keselamatan dan keamanan pada regulasi organisasi penerbangan sipil internasional,” kata Menteri Perhubungan Jusman Syafi’i Djamal.

    Seperti ditegaskan Dirjen Perhubungan Udara Budhi Mulyawan Suyitno, UU Penerbangan baru ini banyak mengatur dan berorientasi pada keamanan penerbangan. Sekitar 70 persen materinya merumuskan kegiatan yang berorientasi pada keselamatan penerbangan. Keselamatan penerbangan memang merupakan syarat menjadi keniscayaan dipenuhi bila dunia penerbangan Indonesia hendak diakui di dunia internasional.

    Prioritas keselamatan bukan hanya pada pesawat dan perusahaan angkutan, tetapi juga penumpang. Karena itu, UU Penerbangan 2008 mengatur hak, kewajiban dan tanggung jawab hukum para penyedia jasa dan pengguna jasa penerbangan, serta tanggung jawab hukum penyedia jasa penerbangan terhadap kerugian pihak ketiga. Dalam konteks perlindungan penumpang itu pula, UU Penerbangan 2008 melihat penyelenggaraan penerbangan dalam kerangka perlindungan konsumen. Spirit perlindungan konsumen tergambar secara eksplisit baik pada batang tubuh maupun penjelasan UU Penerbangan.

    ******

    Bandara Internasional Ngurah Rai Denpasar, 27 November 2008. Penumpang Garuda tujuan Denpasar-Jakarta sudah memadati ruang tunggu satu jam sebelum keberangkatan pukul 20.00 WITA. Masing-masing penumpang sibuk dengan tingkah dan gaya. Ada yang sibuk membeli cendera mata, ada yang asyik ngobrol, sementara yang lain tidur-tiduran.

    Guratan wajah para penumpang tampak kecewa ketika suara dari speaker memberitahukan keberangkatan pesawat Garuda tujuan Jakarta tertunda selama tiga puluh menit karena alasan teknis operasional. Namun kekecewaan penumpang tak sampai meluap menjadi amuk seperti yang pernah terjadi di Bandara Polonia Medan dan Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Di dua tempat ini, penumpang sempat mengamuk karena ketidakjelasan jadwal keberangkatan. Berjam-jam penumpang menunggu tanpa informasi yang memadai dari perusahaan penerbangan. Jawaban petugas tak memberikan jawaban memadai: alasan teknis operasional. Penumpang yang sudah menunggu berjam-jam tidak dilayani sebagaimana layaknya konsumen. Padahal mereka sudah membayar mahal-mahal untuk jasa penerbangan itu.

    Kondisi semacam itu tampaknya sudah dianggap lazim. Penumpang hanya biasa menggerutu kalau maskapai menunda keberangkatan dengan alasan yang tak jelas. Paling-paling, keluhan itu dituangkan dalam surat pembaca di media. Tetapi, tidak bagi David M.L. Tobing.

    David membawa urusan keterlambatan pesawat itu ke meja hijau. Ia mengugat maskapai Lion Air setelah jadwal keberangkatannya dari Jakarta menuju Surabaya tertunda. Seharusnya, ia menemui seseorang dan mengurusi hal penting di Surabaya. Penundaan keberangkatan atau delay –otomatis juga kedatangan -- membuat urusan advokat ini jadi berantakan.

    Akhirnya, David menyeret Lion Air ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat setahun lalu. Ia meminta hakim menghukum maskapai yang menunda keberangkatan tanpa alasan yang bisa dipertanggungjawabkan secara hukum. Awal tahun 2008, gugatan David diputus. Majelis hakim menyatakan maskapai terbukti melakukan perbuatan melawan hukum, dan diharuskan membayar ganti rugi sebesar Rp718.500. Angka ini adalah harga tiket dan pajak bandara yang telah dibayar penggugat. Menurut majelis, maskapai tidak melaksanakan kewajiban hukumnya, yakni melaksanakan penerbangan tepat waktu sesuai jadwal yang mereka janjikan sendiri.

    Pada 22 September 2008, Pengadilan Tinggi Jakarta menguatkan kemenangan David. Hingga batas waktu 3 November, kedua belah pihak tidak mengajukan kasasi, sehingga membuat putusan gugatan David terhadap Lion Air berkekuatan hukum tetap.

    Bagaimanapun, upaya hukum David menjadi angin segar bagi konsumen penerbangan di Tanah Air. Mereka tidak lagi sekedar gigit jari bila maskapai seenaknya menunda keberangkatan pesawat, melainkan sudah bisa meminta ganti rugi. Sebagai konsumen, penumpang berhak mendapatkan informasi tentang alasan delay. “Ini adalah kemenangan konsumen,” ujar David kala menyambut putusan hakim tersebut.

    Di Bandara Internasional Ngurah Rai Denpasar dipajang sebuah papan pengumuman berlogo Departemen Perhubungan dan PT Angkasa Pura. Diberi judul: “Ketentuan Keterlambatan Pesawat Udara Berjadwal”, pengumuman itu cukup memberikan informasi kepada penumpang tentang hak-hak mereka jika terjadi delay. Jika keterlambatan memakan waktu 30 – 90 menit, misalnya, maskapai wajib menyediakan minuman dan makanan ringan kepada penumpang. Aturan keterlambatan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. 25 Tahun 2008. Beruntung, pesawat Garuda tujuan Jakarta pada 27 November lalu benar-benar menepati janji. Delay hanya sekitar 30 menit, seperti yang diumumkan. Sehingga penumpang pun tidak komplain. Pesawat lepas landas menuju Jakarta.

    ******

    Jakarta, 17 Desember 2008. Kemenangan gugatan David hingga putusannya berkekuatan hukum tetap menjadi kabar baik bagi konsumen penerbangan. Kabar baik itu terasa semakin lengkap di tahun 2008 setelah DPR dan Pemerintah memuat materi tanggung jawab hukum maskapai penerbangan terhadap penumpang dalam konteks perlindungan konsumen ke dalam UU Penerbangan baru.

    “Untuk lebih memantapkan perwujudan kepastian hukum, UU ini juga memberikan perlindungan konsumen tanpa mengorbankan kelangsungan hidup penyedia jasa transportasi”. Begitu termuat dalam Penjelasan Umum UU Penerbangan 2008. Tampak ada nuansa keseimbangan antara hak-hak konsumen dan hak hidup maskapai penerbangan.

    Sejumlah pasal semakin mempertegas perlindungan konsumen penerbangan. Pasal 1 angka 23 menjabarkan bahwa tanggung jawab pengangkut adalah kewajiban perusahaan angkutan udara untuk mengganti kerugian yang diderita oleh: penumpang, pengirim barang, atau pihak ketiga.

    Pasal 146 menegaskan: “Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita karena keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi atau kargo, kecuali apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional”.

    Pasal 147 ayat (1) menambahkan: “Pengangkut bertanggung jawab atas tidak terangkutnya penumpang sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan dengan alasan kapasitas pesawat udara”.

    Sebenarnya, tanggung jawab pengangkut juga disinggung sekilas dalam UU Penerbangan 1992. Bahkan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara sudah menentukan besaran ganti rugi maksimal satu juta rupiah. Namun kedua peraturan ini dianggap kurang memadai, apalagi besaran ganti rugi maksimal.

    Tetapi yang lebih menggembirakan bukan hanya perubahan besaran ganti rugi. UU Penerbangan 2008 juga merumuskan apa saja yang masuk kategori “faktor cuaca” dan “teknis operasional”. Kedua jargon ini sering dipakai sebagai alasan klise penundaan penerbangan, padahal penumpang tak memiliki kapabilitas untuk membuktikan kebenaran alasan tersebut.

    Alasan-Alasan Delay Pesawat yang Dapat Dibenarkan Menurut UU Penerbangan 2008 :

    Faktor Cuaca

    • Hujan lebat,
    • Petir;
    • Badai;
    • Kabut,
    • Asap,
    • Jarak pandang di bawah standar minimal; atau
    • Kecepatan angin yang melampaui standar maksimal yang menganggu keselamatan penerbangan.

    Faktor Teknis Operasional

    • Bandara untuk keberangkatan dan tujuan tidak dapat digunakan untuk operasional pesawat udara;
    • Lingkungan menuju bandara atau landasan terganggu fungsinya, misalnya karena retak, banjir, atau kebakaran;
    • Terjadi antrian pesawat udara lepas landas (take off), mendarat (landing), atau alokasi waktu keberangkatan (departure slot time) di bandara
    • Keterlambatan pengisian bahan bakar (refuelling).

    UU Penerbangan 2008 juga menegaskan faktor apa saja yang tidak termasuk pengertian teknis operasional. Setiap maskapai tidak boleh menggunakan dalih ini untuk delay keberangkatan: (i) Keterlambatan pilot, co-pilot, dan awak kabin; (ii) Keterlambatan jasa boga; (iii) Keterlambatan penanganan di darat; (iv) Menunggu penumpang, baik yang baru melapor, pindah pesawat, atau penerbangan lanjutan; dan (vi) Ketidaksiapan pesawat udara.

    Jika alasan-alasan yang disebut terakhir dipakai maskapai, konsumen dapat mempersoalkan, termasuk menempuh langkah seperti yang ditempuh David Tobing. Tentu saja, tergantung berapa lama delay yang dialami penumpang. Pasal 170 UU Penerbangan 2008 memberikan wewenang kepada Menteri Perhubungan untuk mengatur lebih lanjut jumlah ganti kerugian untuk setiap delay pesawat. Hingga saat memasuki 2009, Peraturan Menteri dimaksud belum ada. Sehingga yang jadi pedoman adalah Peraturan Menteri Perhubungan No. 25 Tahun 2008.

    Berdasarkan ini, setiap keterlabatan lebih dari 180 menit, maskapai wajib memberikan minuman, makanan ringan, makan siang/makan malam, atau memindahkan ke penerbangan berikutnya atau maskapai lain jika diminta penumpang. Jika penumpang tak dapat dipindahkan, maskapai harus memberikan fasilitas akomodasi hingga diterbangkan ke penerbangan hari berikutnya.

    Informasi dalam Permenhub itu pula yang dipajang di pintu ruang tunggu Bandara Internasional Ngurah Rai Denpasar. Sayang, pemasangan informasi sejenis belum merata. Walhasil, belum semua konsumen tahu akan hak-haknya. Kesadaran konsumen penerbangan bisa tumbuh jika mereka terus menerus mendapat pencerahan dan advokasi.

    Sebagai konsumen, para penumpang pesawat perlu tahu hak-hak dan kewajiban mereka. Seperti yang dilakukan Civil Aviation Authority di Inggris. Cobalah klik laman www.caa.co.uk. Otoritas yang bertanggung jawab atas hak-hak penumpang pesawat asal Eropa di Inggris itu merumuskan dengan jelas hak penumpang ketika pesawat ditunda, terlambat atau keberangkatan dibatalkan.

    Memasuki tahun 2009, penumpang Indonesia sudah punya dua pegangan: putusan pengadilan dan UU Penerbangan baru.

    1. PENYELENGGARAAN ANGKUTAN UDARA ( KM 25 TAHUN 2008 )

    Sedikitnya 17 perusahaan maskapai penerbangan berjadwal di Indonesia akan menghentikan aktivitasnya pada Juni 2009 mendatang. Hal tersebut terkait ketentuan tentang pengoperasian pesawat udara seperti yang tertuang dalam Peraturan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 25 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara. Maskapai-maskapai itu antara lain Golden Air, Asia Avia Megatama, Bali International Air Service, Eka Sari Lorena Airlines, Star Air, Air Paradise International, Indonesian Airlines Avi Patria, Bayu Indonesia, Bouraq Indonesia, Seulawah NAD Air, Top Sky International, Jatayu Gelag Sejahtera, Efata Papua Airlines, Deraya, Pelita Air Service, Eagle Transport Services, serta Adam Skyconnection Airlines.

    "Mulai 25 Juni nanti, maskapai-maskapai itu tidak lagi beroperasi di penerbangan reguler (berjadwal). Mereka ada yang beralih ke penerbangan carter karena keterbatasan pesawat, atau memang karena tidak mampu lagi beroperasi," jelas Direktur Angkutan Udara Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Departemen perhubungan Tri Sunoko kepada pers, Senin (30/3).

    Tri Sunoko menegaskan, berhentinya aktivitas maskapai itu dari daftar maskapai penrbangan berjadwal bukan karena izin operasi yang dicabut. "Tapi mereka berhenti dengan sendirinya karena tidak mampu merealisasikan ketentuan itu. Izin operasinya beku secara otomatis," sambungnya. Kendati demikian, masih ada pula maskapai yang tetap bertahan meski dengan jumlah pesawat di bawah ketentuan aturan tersebut. Di antaranya adalah Linus Airways, Express Air, Kartika Airlines dan Indonesia Air Transport.

    Sementara maskapai yang mengoperasikan lebih dari 10 pesawat namun tak satu pun dari pesawat yang dioperasikan berstatus milik sendiri adalah Sriwijaya Air. "Kita lihat setelah masa dispensasi tiga tahun sejak KM diberlakukan telah habis. Seharusnya, sejak KM dikeluarkan. Tetapi karena untuk mengadakan pesawat tidak mudah dan butuh biaya yang besar, dispensasi diberikan. Kalau tidak berubah juga, sudah tidak ada ampun lagi," tegas Tri.

    Total maskapai penerbangan berjadwal di Indonesia saat ini berjumlah 15 perusahaan yang menerbangi 169 rute dan kota terhubung sebanyak 83 kota. Perusahaan-perusahaan maskapai penerbangan berjadwal yang merasa tidak mampu memenuhi persyaratan tersebut diimbau untuk melakukan merger dengan perusahaan lain agar tetap bisa eksis. "Pilihan lainnya adalah beralih ke penerbangan carter," ujarnya.

    Selain 17 perusahaan maskapai berjadwal, menurut Tri Sunoko, 13 maskapai penerbangan tidak berjadwal (carter) dipastikan juga akan melakukan stop operasi pada waktu yang sama. Yaitu Bali International Air Service, Numan Avia Indopura, Buay Air Service, Prodexim, Aviasi Upata Raksa Indonesia, Adi Wahana Angkasa Nusantara, Daya Jasa Transindo Pratama, Nusantara Air Charter, Sky Aviation, Love Air Service, Pegasus Air Services, Janis Air Transport, dan Air Maleo. Tri menambahkan, aturan tentang kepemilikan pesawat tersebut juga menjadi bagian dari Undang-undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan. Yakni di mana mana setiap maskapai diwajibkan mengoperasikan 10 pesawat. Lima pesawat wajib milik sendiri oleh maskapai bersangkutang dan sisanya boleh hasil sewa.

    Terkait dengan diterbitkannya UU baru tersebut, Tri Sunoko menambahkan, pihaknya saat ini tengah mengumpulkan beragam masukan dari pelbagai pihak untuk merevisi KM 25/2008. "Baik dari operator, INACA, hingga masyarakat pengguna transportasi udara kita mintai masukan atau (DIM) daftar inventaris masalah untuk menyempurnakan KM ini sehingga bisa lebih implementable ke depannya," papar dia.

    1. DEREGULASI TAHUN 1980/1990/2000 (PEMENUHAN DEMAND & SUPPLY)

    Dari tahun ke tahun deregulasi hanya membahas permasalahan di "atas" saja. Sementara akar permasalahan yang menyebabkan distorsi dan ekonomi biaya tinggi ekonomi RI belum tersentuh. Inikah deregulasi setengah hati? Atau hanya sekadar "gincu" menjelang Sidang CGI pada 11-17 Juli 1997 di Tokyo?


    Walau terlambat tiga hari dari jadwal yang direncanakan, akhirnya pemerintah mengumumkan paket deregulasi 7 Juli 1997. Isinya: pemangkasan 1.600 pos tarif bea masuk untuk berbagai produk sektor pertanian, perdagangan dan kesehatan. Deregulasi itu diikuti juga dengan peraturan pemerintah (PP) mengenai penerimaan pajak dan retribusi daerah, dan pembatasan pemberian kredit oleh bank untuk pengadaan dan pengolahan tanah. Namun, bidang otomotif dan kimia, tampaknya pemerintah belum mau "menyentuh" dalam deregulasi yang diumumkan oleh Menko Ekku, Salef Afif, bersama Menperindag Tungky Ariwibowo, Menkeu Mar'ie Muhammad, serta Gubernur Bank Sentral Soedrajad Djiwandono, di Jakarta.

    Namun, pengumuman deregulasi masih seperti pengumuman deregulasi sebelumnya, disambut biasa saja dan tanpa arti sama sekali. Bahkan para pengamat memperkiran sentuhan-sentuhan deregulasi belum terlihat pada akar permasalahan, yang saat ini, banyak "melilit" perekonomian Indonesia. Seperti, masih adanya penguasaan sektor ekonomi oleh segelintir orang, tata niaga, serta adanya perlakuan istimewa kepada beberapa pelaku ekonomi.

    Kalau pun ada "keran" yang dibuka, itu pun dinikmati oleh segelintir saja. Seperti yang terjadi pada paket deregulasi 3 Juni 1991, pemerintah membuka peluang impor kendaraan niaga kategori I (bobot di bawah 2 ton) hingga kategori V (bobot berat sama dengan bus Mercedes), tapi yang boleh mengimpor adalah agen tunggal dan perusahaan yang mendapatkan "status" importir yang ditunjuk.

    Bahkan ada yang mengatakan deregulasi kali ini tidak ada apa-apanya dan masih sama dengan deregulasi sebelumnya. " Kalau hanya penurunan tarif, itu kan sudah rutin. Ada atau tidak penurunan tarif, hal itu memang sudah harus urun," kata Faisal H Basri, yang juga ketua JurusanStudi Pembangunan FE UI.

    Tampaknya pengumuman deregulasi oleh banyak kalangan masih dinilai sebagai acara rutinitas dibandingkan dengan alasan ekonomis. Ini terlihat tidak adanya prioritas sektor dan komoditas yang dideregulasi. Dan karena itu paket kali ini dianggap sebagai "kosmetik" saja. Para pengamat melihat sentuhan deregulasi belum sampai kepada akar pokok ekonomi Indonesia. Padahal, hampir setiap tahun pemerintah melakukan deregulasi. Apa saja tindakan deregulasi itu? Berikut beberapa cacatan tentang deregulasi yang pernah dikeluarkan pemerintah dalam dekade 80-an dan 90-an:

    Tahun 1983

    Pemerintah mengeluarkan kebijakan deregulasi di sektor moneter, khususnya perbangkan, lewat kebijakan 1 Juni 1983. Deregulasi ini menyangkut tiga segi: peningkatan daya saing bank pemerintah, penghapusan pagu kredit, dan pengaturan deposito berjangka. Dalam ketentuan itu, bank pemerintah bebas menentukan suku bunga deposito serta suku bunga kredit. Langkah ini dimaksudkan agar masyarakat yang memiliki dana nganggur tertarik untuk menyimpan di bank pemeintah. Sebab pada saat itu, suku bunga yang ditawarkan oleh bank swasta lebih tinggi ketimbang bank pemerintah. Yaitu 18 persen, sementara bank pemerintah hanya 14-15 persen.

    Tahun 1985

    Pemerintah memberlakukan Inpres Nomor 4 Tahun 1985 yang mengalihkan tugas dan wewenang Ditjen Bea dan Cukai (BC) dalam pemeriksaan barang kepada surveyor asing SGS. Ini sama saja dengan pemerintah memberikan kepercayaan penuh kepada pihak asing (SGS) dalam memeriksa barang. Keluarnya Inpres Nomor 4, tak lain sebagai reaksi pemerintah atas penyalahgunaan wewenang oleh BC yang banyak diributkan oleh dunia usaha.

    Tahun 1986

    Lewat paket kebijakan 6 Mei (Pakem), pemerintah menghapus sertifikat ekspor (SE). SE merupakan fasilitas empuk yang banyak digunakan eksportir untuk memperoleh pengembalian bea masuk dan unsur subsidi, ini diberikan bersamaan dengan kredit ekspor.

    Tahun 1987

    Pemerintah mengeluarkan deregulasi 15 Januari 1987, tentang industri kendaraan bermotor, mesin industri, mesin listrik, dan tarif bea masuk. Untuk bea masuk, pemerintah memberikan keringanan bea terhadap barang-barang tertentu, seperti Tekstil, kapas, dan besi baja. Sedangkan untuk industri mesin pemerintah memberikan perlakuan kemudahan ijin usaha. Dan untuk industri kendaraan bermotor, pemerintah memberikan kemudahan perakitan kendaraan dan pembuatan dan perakitan bagian kendaraan bermotor.

    Juni 1987

    Pemerintah mengeluarkan paket deregulasi, lewat PP Nomor 13 Tahun 1987 dan Keppres Nomor 16. Kali ini pemerintah menyederhanakan perijinan investasi bidang pertambangan, pertanian, kesehatan dan perindustrian. Yang semula ada empat ijin investasi, setelah kebijakan itu hanya tinggal dua.

    Tahun 1988

    Inilah tahun booming dunia perbankan Indonesia. Bayangkan, hanya dengan modal Rp 10 milyar, seorang pengusaha punya pengalaman atau tidak sebagai bankir, sudah bisa mendirikan bank baru. Maka, tak pelak lagi berbagai macam bentuk dan nama bank baru bermunculan bagai jamur di musim hujan. Itulah salah satu bentuk kebijakan deregulasi 27 Oktober 1988, atau yang dikenal dengan sebutan Pakto 88. Tak hanya itu, bank asing yang semula hanya beroperasi di Jakarta, kini bisa merentangkan sayapnya ke daerah lain di luar Jakarta. Sementara untuk mendirikan bank perkreditan, modal yang disetor menurut Pakto 88, hanya Rp 50 juta seseorang sudah bisa punya bank BPR.

    Tahun 1990

    Pemerintah membuat gebrakan di sektor moneter, khususnya perbankan, lewat Paket Januari 1990 (Pakjan 90), bank-bank umum wajib mengalokasikan 20 persen dari total kreditnya, kepada pengusaha lemah. Atau maksimal kredit yang diberikan kepada pengusaha lemah Rp 200 juta. Namun, dalam Pakjan 90 ini yang masuk kategori usaha lemah adalah usaha yang beraset maksimal Rp 600 juta.

    Tahun 1991

    Tampaknya bulan Juni, dijadikan bulan yang tepat untuk mengumumkan kebijakan-kebijakan pemerintah. Tak heran bila pada Juni 1991, pemerintah kembali "meluncurkan" serangkaian paket deregulasi bidang: investasi, industri, pertanian, perdagangan, dan keuangan. Inti dari deregulasi kali ini adalah pembabatan hak monopoli enam persero pemerintah (Pantja Niaga, Kertas Niaga, Dharma Niaga, Mega Eltra, Sarinah, dan Krakatau Steel. Khusus untuk baja, KS harus rela melepaskan 60 hak impornya kepada importir produsen. Sementara untuk makanan, buah-buahan, dan daging, pengencer di dalam negeri bebas mengimpor dari luar negeri. Namun, importir terkena bea masuk 20 persen. Untuk otomotif, pemerintah membuka keran impor kendaran niaga kategori I sampai V dan termasuk kendaraan serba guna (jip). Namun, yang boleh mengimpor hanyalah para agen tunggal dan importir yang ditunjuk (enam persero pemerintah). Bukti paling dramatis akibat deregulasi ini, adalah dibukanya keran impor kendaraan truk, harga truk anjlok.

    Tahun 1992

    Tanggal 6 Juli 1992, Pemerintah kembali mengeluarkan paket deregulasi di bidang investasi, perdagangan, keuangan, tenaga kerja, pertanahan, IMB dan UUG/HO. Berisi antara lain, mengijinkan HGU dan HGB oleh usaha patungan dalam rangka penanaman modal asing dalam jangka waktu 30 tahun. Keputusan lainnya dari deregulasi yang dinamakan Pakjul itu, pembebasan tata niaga terhadap 241 pos tarif. Terdiri atas 226 pos tarif mengenai batik, 12 pos tarif pertanian, 1 pos tarif air mineral, 1 pos tarif produk logam, dan 1 pos tarif transformator listrik. Untuk bea masuk hanya diberikan kepada 36 pos tarif besi baja. Sementara untuk impor mesin bukan baru hanya dapat diimpor oleh perusahaan sendiri atau industri rekondisi. Mengenai tenaga kerja asing, dengan deregulasi itu, untuk memperoleh ijin tidak perlu ada rekomendasi dari departemen teknis.

    Tahun 1993

    Sektor moneter kembali disentuh melalui deregulasi Mei 1993 (Pakmei 93). Lewat Pakmei, capital adequency ratio (CAR) atau rasio kecukupan modal diperlonggar. Dengan peningkatan CAR, bank dipastikan akan lebih leluasa memberikan kredit. Pemerintah juga menyederhanakan ketentuan loan deposit ratio (LDR) atau pemberian kredit kepada pihak ketiga. Dengan ketentuan ini bank hanya diberikan 20 persen untuk menyalaurkan kredit kepada grupnya sendiri.Yang menarik dari kebijakan ini, KUK dibawah Rp 25 juta dapat digunakan untuk kegiatan tidak produktif.

    10 Juni 1993

    Pemerintah kembali "menggebrak" lewat paket deregulasi di bidang otomotif. Sejumlah bea masuk yang dianggap menghambat pengembangan industri otomotif, dipangkas. Untuk kategori sedan, jika kandungan lokal telah mencapai 60 persen maka akan dikenakan bea masuk nol persen. Pick-up, minibus, dengan kandungan lokal 40 persen akan dikenakan bea masuk nol persen. Sedangkan untuk truk, bus, dan sepeda motor, masing-masing akan dikenakan nol persen jika mencapai kandungan lokal lebih dari 30 dan 40 persen. Pemerintah juga membuka keran impor kendaraan bermotor dalam bentuk utuh (build-up) dari negara lain. Jika kendaraan impor sudah dirakit di dalam negeri maka pemerintah akan mengenakan bea masuk 200 persen. Sedangankan yang belum pernah dirakit di dalam negeri pemerintah mengenakan 300 persen bea masuk. Selain otomotif pemerintah juga membuat kejutan dengan menarik tepung terigu dari daftar negatif investasi (DNI). Dengan begini, investor yang berminat di tepung terigu punya peluang untuk membangun pabriknya.

    Tahun 1994

    Lewat PP Nomor 20 Tahun 1994, pemerintah membuka pintu lebar-lebar kepada PMA untuk "menabur" duitnya disegala bidang dan sektor ekonomi. Bahkan sektor yang yang banyak berhubungan dengan hajat hidup orang banyak terbuka 95 persen bagi PMA. Dalam patungan membangun perusahaan dengan mitra lokal, sebelum PMA hanya diberikan 45 persen saham, dengan PP itu, PMA bisa menguasai 95 persen saham. Mungkin inilah satu-satunya deregulasi yang membuat Menteri Penerangan Harmoko, marah. Pasalnya, ia merasa tidak diajak konsultasi guna penyusunan PP tersebut. Maklum saja, PP Nomor 20 dinilai banyak bertentangan dengan UU Pokok Pers Tahun 1982. Belakangan beleid mengenai PMA ini dikoreksi, sehingga ada beberap sektor yang "haram" dimasuki oleh PMA. Ya, bidang pers salah satunya.

    Tahun 1995

    Dengan kebijakan yang dinamaan Paket Mei 1995 (Pakmei 95), pemerintah mengeluarkan paket deregulasi atas lima bagian : tarif bea masuk dan masuk tambahan, tata niaga impor, penaman modal, perijinan, restrukturisasi usaha, dan entrepot produsen tujuan ekspor serta kawasan berikat. Dalam tarif, terjadi penurunan 6.030 dari 9.408 pos tarif. Pemerintah juga menghapus bea masuk tambahan terhadap 95 produk, merubah tata niaga dan kontrol terhadap 81 produk. Dalam Pakmei ini, penurunan tarif bea masuk akan diturunkan secara bertahap.

    Tahun 1996

    26 Januari 1996, Pemerintah mengeluarkan paket deregulasi, untuk bidang industri, perdagangan, dan keuangan. Makna deregulasi kali ini masih tidak bergeser dari deregulasi sebelumnya, yaitu penurunan bea masuk. Selain itu diberikannya fasilitas perpajakan guna meningkatkan ekspor non migas.

    Tahun 1997

    Inilah deregulasi yang oleh banyak kalangan dinilai sudah kehilangan momentumnya. Karena, deregulasi kali ini adalah deregulasi tertunda yang seharusnya bulan lalu diumumkan. Isi paket deregulasi: pemangkasan 1.600 pos tarif bea masuk untuk berbagai produk sektor pertanian, perdagangan dan kesehatan. Deregulasi yang dikeluarkan 7 Juli 1997 itu, diikuti juga dengan peraturan pemerintah (PP) mengenai penerimaan pajak dan retribusi daerah, dan pembatasan pemberian kredit oleh bank untuk pengadaan dan pengolahan tanah

    Penurunan tarif terbesar terjadi pada produk industri sebanyak 1.461 pos tarif, pertanian 136 pos tarif, dan kesehatan tiga pos tarif. Jumlah pos tarif sebanyak 7.261 sebelum tahun 1997, dan setelah deregulasi jumlah pos tarif masih sama. Perubahannya, hanya pada pos tarif rendah jumlahnya bertambah, terutama untuk pos tarif 20 persen hingga nol persen. Sementara sebelum deregulasi, jumlah pos tarif tinggi masih banyak. Dengan pertambahan bea masuk rendah dan berkurangnya pos tarif tinggi, maka pos tarif rata-rata tidak tertimbang mengalami penurunan dari 13,0 persen menjadi 11,9 persen.

    Dalam paket Juli ini, untuk bidang impor, pemerintah memberlakukan ketentuan impor gula kasar, yang sebelumnya dikuasai oleh Badan Urusan Logistik (Bulog), kini dapat dilakukan oleh importir produsen. Importir dalam hal ini, adalah pabrik gula yang menggunakan bahan baku gula kasar untuk produksinya. Selain itu, pemerintah juga membuka impor kapal bekas tanpa ada batasan kuoto. dengan ketentuan selama kapal bekas masih layak pakai.

    Untuk bidang ekspor, pemerintah menaikkan nilai pemberitahuan ekspor barang (PEB) yang sebelumnya Rp 100 juta naik menjadi Rp 300 juta. Dalam ketentuan baru ini, para pengusaha kecil dan menengah yang sebelum harus melapor jika akan mengekspor barang dengan nilai di atas Rp 100 juta, kini, mengekspor barang hingga Rp 300 juta tanpa PEB.

    Sementara untuk perusahaan bukan penanaman modal, yang sebelumnya tidak mendapat fasilitas pembebasan bea masuk, seperti penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN), kini mendapatkan fasilitas yang sama. Kebijakan pemberian fasilitas pembebasan bea masuk untuk bebas bea atas impor barang modal dan bahan baku, untuk keperluan selama dua tahun.

    Sedangkan untuk pajak dan retribusi daerah, sebagai pelaksanan UU Nomor 18 Tahun 1997, pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 1997, tentang pajak daerah dan PP Nomor 20 Tahun 1997, tentang retribusi daerah, guna penyederhanakan kedua pungutan tersebut. Kini dengan adanya UU, pajak daerah yang sebelum sebanyak 42 jenis, kini tinggal 9 jenis. Sedangkan untuk retribusi daerah dari 192 jenis menjadi 30 jenis. Selain itu, sebagai pelaksanaan dari UU Nomor 20 Tahun 1997, tentang penerimaan negara bukan pajak (PNBP), pemerintah mengeluarkan PP Nomor 22 Tahun 1997, yang mengatur semua penerimaan negara bukan pajak harus disetorkan ke kas negara.

    Dalam PP Nomor 22, disebutkan ada tujuh jenis penerimaan negara bukan pajak di semua departemen dan lembaga non departemen. Antara lain, penerimaaan kembali anggaran (sisa anggaran rutin dan pembangunan), penerimaan hasil penjualan barang milik negara, hasil penyewaan barang milik negara, penerimaan hasil jasa giro uang negara, penerimaan ganti rugi atas kerugian negara, penerimaan denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan pemerintah, dan penerimaan dari hasil penjualan dokumen lelang. Selain itu, PP Nomor 22 juga mengatur semua jenis penerimaan negara bukan pajak di seluruh departemen dan lembaga non departemen.

    Pemerintah juga membuka pintu kepada swasta untuk mendirikan balai lelang dalam bentuk perusahaan terbatas (PT). Bahkan swasta nasional diberikan kesempatan untuk berpatungan mendirikan balai lelang dengan pihak asing.

    Di bidang moneter, khususnya perbankan, pemerintah melarang bank umum untuk memberikan kredit baru untuk pengadaan dan pengolahan lahan. Dengan kata lain, bank-bank tidak diperkenankan memberikan kredit kepada pengembang untuk membuka lahan baru. Kecuali untuk pengadaan rumah sederahana (RS) dan sangat sederhana (RSS).

    Sementara impor minyak kelapa sawit mentah untuk bahan baku minyak goreng, yang semula dikenakan pajak ekspor sebesar 10-12 persen, kini dengan ketentuan baru pemerintah menurunkan jadi lima persen.

    1. OPERATOR YANG MEMPUNYAI KONSEP BIAYA MURAH

    Istilah Penerbangan “low cost” atau sering disebut LCC (low cost carrier). LCC sering juga disebut sebagai Budget Airlines atau no frills flight atau juga Discounter Carrier. LCC merupakan model penerbangan yang unik dengan strategi penurunan operating cost.

    Dengan melakukan efisiensi cost di semua lini, maskapai melakukan hal-hal diluar kebiasaan maskapai pada umumnya, Kalau airlines pada umumnya melakukan penambahan layanan yang memiliki value added dengan penambahan catering, penyediaan newspaper atau magazine, in flight entertainment, in flight shop, lounge, free taxy after landing, exclusive frequent flier services, dan lain sebagainya. Berlawanan dengan hal itu, Low cost carrier melakukan eleminasi layanan maskapai tradisional yaitu dengan pengurangan catering, minimize reservasi dgn bantuan teknologi IT sehingga layanan nampak sederhana dan bisa cepat.

    Pelayanan yang minimize ini berakibat dalam hal penurunan cost, namun factor safety tetap dijaga untuk menjamin keselamatan penumpang sampai ke tujuan. LCC adalah redifinisi bisnis penerbangan yang menyediakan harga tiket yang terjangkau serta layanan terbang yang minimalis. Intinya produk yang ditawarkan senantiasa berprinsip low cost untuk menekan dan mereduksi operasional cost sehingga bisa menjaring segmen pasar bawah yang lebih luas.

    Awal mula low cost carrier ini dirintis oleh Maskapai Southwest yang didirikan Rollin King, Lamar Muse dan Herber Kelleher pada 1967. Fenomena Southwest menjadi fenomena kajian bisnis penerbangan yang sangat menarik dibahas di Universitas Harvard dan diberbagai sekolah bisnis diseluruh belahan dunia. Efisiensi yang dilakukan mencakup mulai dari harga (murah), teknologi, struktur biaya, rute hingga berbagai peralatan operasional yang digunakan.

    Keberhasilan Southwest kemudian banyak ditiru oleh maskapai lainnya seperti Vanguard, America West, Kiwi Air, Ryanair yang berdiri tahun 1990, Easyjet yang berdiri tahun 1995, Shuttle (anak Perusahaan United Airlines), MetroJet (anak perusahaan USAir) dan Delta Express (anak perusahaan Delta), Continental Lite (anak perusahaan Continental Airlines). Langkah Low cost carrier kemudian juga ditiru di Asia dengan munculnya Air Asia di tahun 2000 yang bermarkas di Malaysia, Virgin Blue di Australia, sedangkan di Indonesia kemudian berdiri Lion Air, dan Wings Air yang merupakan anak perusahaan Lion Air.

    Umumnya, ciri-ciri maskapai tersebut menerapkan LCC antara lain :

    • Semua penumpangnya adalah kelas ekonomi, tidak ada penerbangan kelas premium atau bisnis.
    • Kapasitas penumpangnya lebih banyak daripada kapasitas pesawat dengan layanan tradisional sehingga terlihat penumpang berdesak-desakkan. Hal ini untuk menaikkan revenue pesawat mengingat tarif yang sangat murah.
    • Maskapai tersebut memiliki satu tipe pesawat untuk memudahkan training dan meminimize biaya maintenance dan penyediaan spare part cadangan. Biasanya pesawatnya baru/ umurnya masih muda sehingga hemat dalam konsumsi fuel (avtur).
    • Maskapai menerapkan pola tarif yang sangat sederhana pada satu tarif atau tarif sub classis dengan harga mulai dari tarif diskon hingga mencapai 90%.
    • Tidak memberikan layanan catering, di pesawat umumnya hanya disuguhkan air mineral.
    • Kursi yang disediakan tidak melalui pemesanan, siapa penumpang yang masuk lebih dahulu dalam pesawat, dia yang pertama memilih kursi yang dia tempati.
    • Penerbangan dilakukan di pagi buta atau malam hari untuk menghindari biaya yang mahal pada layanan bandara pada saat jam-jam sibuk.
    • Rute yang diterbangi sangat sederhana biasanya point ke point untuk menghindari miss conection di tempat transit dan dampak delay dari akibat delay flight sebelumnya.
    • Memberlakukan penanganan gound handling yang cepat dan pesawatnya mempunyai utilisasi jam terbang yang tinggi.
    • Maskapai melakukan penjualan langsung (direct sales), biasanya via call center dan internet untuk meminize cost channel distribusi. LCC tidak dijual melalui travel agent, dan tidak menggunakan Channel Distribusi GDS (Global Distribution System) seperti Abacus,Galileo, dll.
    • Penjualan tidak menggunakan tiket konvensional, cukup secarik kertas berupa kupon untuk mereduksi ongkos cetak tiket.
    • Seringkali maskapai melakukan ekspansi promosi besar-besar untuk memperkuat positioning dan komunikasi karena menerapkan strategi direct sales.
    • Karyawannya melakukan multi role dalam pekerjaannya, seringkali pilot dan pramugari juga sebagai cleaning services saat ground handling.

    Disamping itu LCC menerapkan outsourcing dan karyawan kontrak terhadap SDM non vital, termasuk pekerjaan ground handling pesawat di bandara. Di Indonesia belum ada yang menerapkan pola bisnis LCC yang sejati, karena operasional cost maskapai yang dianggap LCC di Indonesia masih diatas rata-rata maskapai LCC pada umumnya.

    Banyak analis keuangan masih menyatakan bahwa cost per available seat miles masih berada diatas ambang standard operating cost dari suatu Low Cost Carrier yang sejati, namun meskipun price structure-nya sendiri sudah sesuai dengan konsep LCC sehingga mungkin akan lebih tepat disebut dengan Low Far Carrier (LFC) karena hanya menawarkan harga murah tetapi belum sepenuhnya mendukung prinsip-prinsip LCC dimana struktur cost dan produktifitas maskapai masih tergolong mahal.

    Adanya konsep LFC tentu sangat menguntungkan bagi calon konsumen, karena konsumen dihadapkan pada pilihan menggunakan transportasi udara yang berbiaya murah dan cepat. Seringkali harganya jauh lebih murah dari perjalanan darat dengan bus atau kereta api yang membutuhkan waktu lebih lama. Contoh saja perjalanan Bus dari Jakarta ke Denpasar selama 24 jam membutuhkan biaya sebesar Rp 350.000 sedangkan dengan pesawat, harga tiketnya ada yang menawarkan harga mulai dari Rp 269.000 dengan waktu tempuh 1,5 jam.

    Bahkan pada saat-saat tertentu operator menawarkan kursi gratis ke Bali dengan membayar administrasi saja yang nilainya hanya Rp 199.000. Fenomena yang menyadarkan kita bahwa sekarang ini semua orang bisa terbang dengan harga yang terjangkau dan tidak lagi seperti jaman dahulu dimana penggunaan transportasi udara hanya monopoli orang-orang dari kalangan menengah keatas.

    Perkembangan bisnis penerbangan kedepannya masih menghadapi tantangan yang berat, mengingat harga fuel (avtur) yang terus meningkat yang merupakan komponen biaya yang paling besar dalam total operating cost di bisnis penerbangan disamping maintenance pesawat. Otomatis dengan biaya operasi yang makin meningkat, maskapai terpaksa harus menaikkan tarif.

    Oleh karena itu, strategi bisnis LCC yang sejati yang secara aggresif mampu melakukan penghematan terhadap konsumsi fuel akan sangat sesuai diterapkan di Indonesia mengingat calon-calon penumpang di Indonesia adalah sangat sensitif terhadap price, maka kecenderungannya penumpang akan memilih maskapai yang menawarkan harga murah, namun maskapai LCC tetap mendapatkan profit dari bisnisnya.

    Maka kedepannya, besar kemungkinannya hanya maskapai dengan pola LCC yang akan lebih mampu bertahan dibandingkan dengan maskapai dengan pola layanan tradisional yang lain.