Sunday, December 26, 2010

Tugas Resume Peraturan Penerbangan Sipil

Resume

Ruang Udara dan Lalu Lintas Udara

I. Tatanan Ruang Udara

Pasal 63

(1). Menteri menetapkan batas-batas penggunaan ruang udara untuk kepentingan pelayanan navigasi penerbangan yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Indonesia.

(2). Batas-batas penggunaan ruang udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), didasarkan pada perjanjian antarnegara dalam hal:

a. negara lain diberikan tanggung jawab atas pelayanan navigasi penerbangan di dalam wilayah udara Indonesia; atau

b. Indonesia memperoleh tanggung jawab atas pelayanan navigasi penerbangan di luar wilayah udara Indonesia.

(3). Pelaksanaan perjanjian antarnegara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dilakukan oleh Menteri setelah mendengar pertimbangan dari instansi terkait.

Pasal 64

(1). Ruang udara dalam wilayah udara Indonesia terdiri dari ruang udara yang dikendalikan dan ruang udara yang tidak dikendalikan.

(2). Ruang udara yang dikendalikan dan ruang udara yang tidak dikendalikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diklasifikasikan dengan mempertimbangkan sekurang-kurangnya :

1. keselamatan operasional penerbangan;

2. kepadatan lalu lintas udara;

3. kemampuan fasilitas komunikasi penerbangan;

4. kemampuan fasilitas bantu navigasi penerbangan;

5. kemampuan pengamatan lalu lintas udara;

6. kemampuan navigasi pesawat udara; dan

7. efektivitas dan efisiensi operasi penerbangan.

(3). Ketentuan lebih lanjut mengenai ruang udara yang dikendalikan dan ruang udara yang tidak dikendalikan serta penetapan kelas ruang udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 65

Menteri menetapkan jalur lalu lintas udara dalam ruang udara dengan mempertimbangkan sekurang-kurangnya :

1. keselamatan operasi penerbangan;

2. kemampuan navigasi pesawat udara;

3. kemampuan fasilitas komunikasi penerbangan;

4. kemampuan fasilitas bantu navigasi penerbangan;

5. kepadatan lalu lintas udara;

6. efektivitas dan efisiensi operasi penerbangan;

7. bandar udara keberangkatan dan bandar udara tujuan; dan

8. daerah latihan militer atau peluncuran roket/satelit.

Pasal 66

(1). Untuk menjamin keselamatan operasi penerbangan, ditetapkan kawasan udara terlarang, kawasan udara terbatas dan kawasan udara berbahaya.

(2). Kawasan udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memiliki batas-batas vertikal dan horizontal.

(3). Ketentuan lebih lanjut mengenai kawasan udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri setelah mendengar pertimbangan Menteri yang bertanggung jawab di bidang Pertahanan Negara dan/atau Menteri terkait lainnya.

Pasal 67

(1). Terhadap pelanggaran wilayah udara Republik Indonesia dan/atau kawasan udara terlarang oleh pesawat udara sipil, dilaksanakan penegakan hukum yang harus menjamin keselamatan dan keamanan awak pesawat, penumpang dan pesawat udara.

(2). Penegakan hukum terhadap pelanggaran wilayah udara dan/atau kawasan udara terlarang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia.

(3). Ketentuan lebih lanjut mengenai penegakan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang pertahanan setelah mendengar pendapat Menteri dan menteri terkait lainnya.

II. Fasilitas Penerbangan

Pasal 68

(1). Fasilitas penerbangan yang dipergunakan dalam pemberian pelayanan lalu lintas udara meliputi :

1. komunikasi penerbangan;

2. navigasi penerbangan;

3. pengamatan penerbangan;

4. peralatan bantu pendaratan.

(2). Penyediaan fasilitas penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan dengan memperhatikan :

a. kebutuhan operasional lalu lintas udara;

b. perkembangan teknologi; dan

c. keandalan fasilitas penerbangan.

(3). Setiap fasilitas penerbangan yang dioperasikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus dikalibrasi secara berkala.

(4). Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitas penerbangan dan kalibrasi fasilitas penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.

III. Tata Cara Berlalu Lintas Udara

Pasal 69

(1). Kapten Penerbang dalam pengoperasian pesawat udara wajib memenuhi ketentuan tata cara berlalu lintas udara yang sekurang- kurangnya meliputi :

a. pergerakan pesawat udara di udara dan urutan prioritas pelayanan lalu lintas udara;

b. batas ketinggian;

c. kawasan udara terlarang, terbatas dan berbahaya;

d. jarak vertikal dan horizontal;

e. aturan ambang batas kebisingan;

f. penarikan benda di udara termasuk pesawat layang;

g. uji coba penerbangan, akrobatik dan demonstrasi;

h. isyarat darurat apabila mengetahui pesawat udaranya berada di kawasan udara terlarang, terbatas dan berbahaya;

i. lepas landas, pendaratan dan pergerakan di darat atau air;

j. penggunaan lampu navigasi pesawat udara;

k. isyarat-isyarat untuk penyampaian informasi atau memberikan perhatian kepada pesawat udara lainnya; dan

l. jam kerja operasi bandar udara.

(2). Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara berlalu lintas udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 70

(1). Kapten Penerbang wajib mematuhi rencana penerbangan yang telah ditetapkan.

(2). Penyimpangan terhadap rencana penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat dilakukan untuk alasan keselamatan penerbangan dengan ketentuan :

a. melaporkan kepada pemandu lalu lintas udara yang berwenang dalam hal pesawat udara berada di ruang udara yang dikendalikan; dan

b. menyampaikan informasi penyimpangan rencana penerbangan kepada pusat informasi penerbangan terdekat dalam hal pesawat udara berada di ruang udara yang tidak dikendalikan.

(3). Kapten Penerbang atau awak pesawat lainnya atau operator pesawat udara wajib melaporkan kepada pejabat yang berwenang mengenai pendaratan darurat yang dilakukan.

(4). Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana penerbangan dan penyimpangan terhadap rencana penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 71

(1). Setiap orang dilarang membuang benda apapun dari pesawat udara selama dalam penerbangan.

(2). Pembuangan benda apapun dari pesawat udara hanya dapat dilakukan dalam keadaan darurat penerbangan oleh dan/atau atas izin Kapten Penerbang.

(3). Dalam melaksanakan pembuangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Kapten Penerbang harus melaporkan daerah pembuangan kepada pemandu lalu lintas udara.

(4). Pembuangan benda apapun dari pesawat udara dan daerah pembuangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3), dilakukan dengan memperhatikan :

a. keselamatan pesawat udara dan penumpang;

b. b keselamatan penduduk dan harta bendanya di wilayah pembuangan;

c. kelestarian lingkungan.

(5). Ketentuan lebih lanjut mengenai pembuangan benda dari pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 72

(1). Pesawat udara dalam keadaan darurat penerbangan berhak mendapatkan prioritas pelayanan lalu lintas udara.

(2). Pemberian prioritas pelayanan lalu lintas udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), didasarkan atas laporan keadaan darurat penerbangan dari Kapten Penerbang atau personil pesawat udara lainnya.

(3). Pemandu lalu lintas udara wajib mengambil tindakan dalam batas wewenangnya yang diperlukan untuk menjamin keselamatan pesawat udara yang mengalami keadaan darurat dari pengguna jasa pelayanan lalu lintas udara lainnya.

IV. Pelayanan Lalu Lintas Udara

Pasal 73

(1). Pelayanan lalu lintas udara diselenggarakan oleh Pemerintah dan pelaksanaannya dapat dilimpahkan sebagian atau seluruhnya kepada Badan Usaha Milik Negara yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2). Setiap pesawat udara yang beroperasi di ruang udara Indonesia diberikan pelayanan lalu lintas udara.

(3). Pelayanan lalu lintas udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), dilakukan dengan memperhatikan :

a. status penerbangan;

b. manajemen lalu lintas udara;

c. fasilitas komunikasi penerbangan;

d. fasilitas bantu navigasi penerbangan;

e. fasilitas pengamatan penerbangan;

f. fasilitas bantu pendaratan;

g. fasilitas meteorologi;

h. informasi aeronautika;

i. kemampuan personil; dan

j. hal-hal khusus.

(4). Pelayanan lalu lintas udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi :

a. pelayanan pengendalian ruang udara jelajah;

b. pelayanan pengendalian ruang udara pendekatan;

c. pelayanan pengendalian ruang udara di bandar udara termasuk pelayanan pendaratan dan lepas landas pesawat udara;

d. pelayanan pengamatan;

e. pelayanan pengendalian arus penerbangan;

f. pelayanan informasi penerbangan;

g. koordinasi antar pengendali lalu lintas udara atau dengan instansi terkait lainnya; dan

h. pelayanan berita lalu lintas udara.

(5). Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan lalu lintas udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 74

(1). Pelayanan lalu lintas udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 dilaksanakan oleh unit pelayanan lalu lintas udara yang terdiri dari :

a. pusat pengendalian ruang udara jelajah;

b. pusat pengendalian ruang udara pendekatan;

c. pusat pengendalian ruang udara di bandar udara;

d. pusat informasi penerbangan;

e. pusat informasi penerbangan bandar udara; dan

f. unit pelayanan lalu lintas udara lainnya sesuai dengan kebutuhan.

(2). Ketentuan lebih lanjut mengenai unit pelayanan lalu lintas udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 75

Penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan yang memberikan pelayanan lalu lintas udara wajib melakukan peningkatan kualitas sumber daya manusia, fasilitas penerbangan dan pelayanan lalu lintas udara sesuai dengan kebutuhan dan dengan memperhatikan perkembangan teknologi penerbangan.

0 comments:

Post a Comment